Selasa, 13 Agustus 2013

Yogyakarta-ku Menunggu

02 Agustus 2013
Kereta ku melaju tanpa ragu. Seakan berlari mengejar apa yang dituju. Cepat sekali. Tak peduli berapa batang pepohonan yang dilalui, tak peduli berapa jarak yang terlewati. Ia tetap berlari, kencang sekali. Saat seperti inilah yang aku tunggu-tunggu beberapa minggu belakangan ini. Ya. Rasa rindu seakan menyeruak dalam dadaku. Menggebu. Aku rindu. Rindu sekali pada kederhanaan lingkungan masa kecilku. Aku rindu. Rindu sekali pada tempat yang membuat cerita terpanjang dalam masa kecilku. Aku rindu. Rindu melihat wajah dua sosok hebat itu. Aku rindu merasakan teduh kasihnya. Aku rindu kembali. Rasanya kehidupan di luar sana tak selembut kehidupan yang mereka hadirkan untukku. Alunan lembut lagu penyanyi terkenal itu menemani perjalananku. “Home”.
Yogyakartaku menunggu.

Separuh perjalanan ku terlewat. Suara tangisan bayi mungil di sebelah kursi tempat dudukku membangunkanku yang terlelap. Ku buka mataku. Ku pandang keluar jendela. Semoga belum terlewat, kataku dalam hati. Takut stasiun tujuanku sudah terlewati. Aku perhatikan sedikit demi sedikit keluar jendela di tempat dudukku, mencari-cari papan nama yang bisa menjelaskan padaku. Diamana keretaku sekarang. Tempat ini sungguh tak asing bagiku. Seakan menyimpan rapi sebuah folder kenangan. Entah apa itu. Kulihat perlahan. Aku mengenal tempat ini. Ya. Hampir setiap minggu dulu aku berada di stasiun ini. Stasiun di kota ramah,stasiun di kota dimana aku lama tinggal. Kota yang mengukir banyak kenangan. Kota yang menyimpan sejuta cerita. Kota yang membesarkan hatiku. Kota yang mengajarkanku apa arti kedewasaan. Kota hebat ini. Ya.

                Perlahan ada sesuatu yang lembut menyusup pelan dalam kalbuku, lembut sekali. Ia berjalan pelan namun pasti. Folder kehidupan yang tersimpan rapi perlahan menyeruak terbuka. Siluet-siluet lembut menyapaku. Terlihat gadis-gadis lulusan SMA datang dari sudut kota kecil disana. Wajahnya riang, wajahnya bangga. Berjalan dengan yakinnya, bertekad memulai kehidupan sendiri di kota ini. Tanpa ragu. “Itu aku”. Kemudian ku tengok kearah sana, terlihat gadis yang tengah murung. wajahnya sendu, sedih menyimpan rindu ketika ia tak dapat pulang bertemu dengan ayah ibunya. Ku lihat kearahnya. Ku lihat dalam ke sudut matanya. Aku pernah merasakannya. Ya. Rasa peperti ini. Keadaan seperti ini. Di tempat ini. Dan ternyata itu aku. “Aku sendiri”. Aku mengalihkan pandanganku, terlihat gadis dengan senyumnya yang khas sedang melambaikan tangan, tanda perpisahan mungkin. Atau apa itu akupun tidak begitu yakin. J
        Tapi yang jelas keduanya tersenyum meski ku tahu matanya menyiratkan sebuah kesedihan. Seseorang ada di seberang sana menunggu perginya kereta. Menunggu harap-harap cemas petugas yang memberangkatkan kereta. Memandang lekat ke sosok di balik jendela salah satu gerbong kereta. Kemudian tersenyum pahit. Melambaikan tangan berulang, dan berulang. “Itu juga aku”. Ya aku. Aku setahun yang lalu. Yang masih punya cerita dengan kamu. Ku alihkan lagi pandanganku, kali ini ku lihat di sudut sana. Seseorang sedang duduk bersama yang lainnya. Ia tertawa, riang sekali. Bercanda dengan yang lainnya, seakan dunia hanya milik mereka. Tertawa lepas tanpa beban, bersama kawan. Ah ternyata itu aku. Aku dan mereka. Mataku pun beralih di sudut yang lain, terlihat siluet gadis sedang duduk menunggu. Terlihat ia hanya diam dan kemudian tersenyum. Tanpa kata, dan lagi-lagi hanya tersenyum. Itu aku, beberapa bulan lalu. Ketika usai sudah cerita ku dengan kamu. Dan itu terakhir kalinya kamu mengantarku. Aku adikmu, dan kau kakakku. Begitu akhirnya. Tapi aku beruntung, punya cerita denganmu. Dan akupun beruntung, Yogyakarta masih merindukanku. Aku bahagia, Yogyakarta masih menyimpan rapi ceritaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar